Author: Dulur Baraya
•9/02/2009 02:18:00 AM


Matahari sudah terlihat memanasi kota Bandung, waktu menunjukkan pukul 13.00. Waktunya aku bersiap-siap untuk menonton Persib. Ku masukkan sebuah syal biru bertuliskan “ PERSIB ” ke dalam tas, beserta sebotol air putih untuk melepas dahaga setelah aku bernyanyi dan berjingkrak untuk mendukung Maung Bandung. Sesegera mungkin aku mengganti baju yang ku pakai, menjadi baju biru yang di belakangnya bertuliskan “ Are you vikers or just stupid ??? “ dan di depannya terdapat gambar seorang vikers dengan nama “ VIKING “ di atasnya dan “ PERSIB CLUB “ di bawahnya. Baju itu adalah baju “ perjuangan “, yang selalu ku pakai ketika pertama kali diriku dan jiwaku menginjakkan kaki di Siliwangi. Kemudian, celana jeans aku pakai. Tak lupa aku keluarkan kaus kaki dari lemari untuk melapisi sepatu yang akan ku pakai agar tak bersentuhan langsung dengan kulit kaki. Aku keluar dari kamar, menuruni tangga, menerobos ruang keluarga, melewati dapur dan mengambil sepatu di rak sepatu yang teronggok beserta kumpulan sepatu yang tak berdaya. Aku simpan sepatu itu di luar rumah beserta kaus kakinya, kembali aku masuk ke rumah menuju kamar mandi, untuk mencuci muka, membasuh tangan dan kaki, agar badan terasa segar. Ku ambil handuk untuk ngagaringkeun muka, tangan dan kaki ku. Waktu menunjukkan pukul 13.20, dan itulah terakhir kali aku melihat jam, karena setelah itu aku keluar memakai sepatu biru yang selalu menemaniku setiap kali diriku dan jiwaku hadir di Siliwangi untuk mendukung Persib Bandung. Sebelum pergi, aku berpamitan terlebih dahulu kepada kedua orang tua, dan meminta do’a mereka agar Persib menang dan hatiku senang.

Aku keluar dari rumah, menuju pagar rumah yang terpasang sterofoam bertuliskan angka 11. Ku buka pintu gerbang itu, dan ku tutup kembali. Jalanan terlihat ramai, beberapa mobil dan motor terlihat membawa para bobotoh Persib menuju tempat pertarungan Persib yang penuh nilai historis, yakni Stadion Siliwangi. Ku terjang panas teriknya matahari, untuk menuju sebuah perempatan yang menghubungkan Jl. Moh. Ramdhan dan Jl. Pungkur. Ku berhenti sejenak di bawah matahari yang membakar Bandung di siang hari, sambil menunggu sebuah kendaraan yang rajin membawa para bobotoh menuju Stadion Siliwangi, yaitu mobil hijau bernomor 02 yang bertuliskan Kalapa-Caheum-Aceh atau yang lebih sering disebut angkot . Ku angkat jari telunjuk ke depan untuk menghentikan angkot berwarna hijau itu, angkot itu sudah dipenuhi oleh beberapa bobotoh, aku pun terpaksa duduk di dekat lawang pintu karena hanya tempat itu yang tersisa.
Angin cukup deras menghantam tubuhku, yang justru mendinginkanku di bawah panasnya matahari saat itu. Terlihat sekumpulan orang di sekitar kantor sekretariat Persib dan di sekitar Markas Besar Viking, ada beberapa orang calo, ada beberapa orang berbaju biru yang bersiap untuk berangkat ke Stadion Siliwangi, ada pula yang masih bercengkrama dan tampak pula beberapa mahasiswa dari Universitas Langlangbuana yang keluar dengan mengendarai motor dan memakai baju biru. Jalanan semakin penuh dan terlihat hijau oleh beberapa mobil hijau yang ngetem, dan semakin biru oleh bobotoh Persib serta oleh angkot jurusan Buah batu - Kebon kalapa. Perjalanan tidak tampak membosankan di hari itu, karena ramai oleh ulah dan sorak sorai bobotoh, padahal jika hari biasa sangat tampak membosankan karena laju angkot hanya lurus terus sampai melewati Jl. Sunda. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar 15 - 20 menit saja. Namun, setelah melewati sebuah supermarket di Jl. Sunda, angkot berhenti dan di depannya terdapat antrean beberapa mobil, karena Jl. Sunda untuk beberapa menit ditutup, dikarenakan gerombolan gerbong yang beroda besi sedang melintas. Setelah beberapa menit akhirnya semua kendaraan melaju dengan santai, termasuk angkot yang ku tumpangi. Ku keluarkan uang yang bergambar Pattimura sebanyak 2 lembar dari saku celanaku untuk membayar jasa kursi yang kududuki dan jasa supir yang bersedia membawaku menuju Stadion Siliwangi. Angkot itu akhirnya berhenti di Stadion Siliwangi, karena mungkin sang supir telah mengetahui bahwa banyak orang yang akan turun di tempat itu. Ku berikan 2 lembar uang bergambar Pattimura yang telah kulipat.
Setelah membayar ongkos kepada supir, tampak beberapa orang mendekatiku dan orang lain yang turun dari angkot. Orang itu berkata,” selatan … utara … timur …”, dan orang itulah adalah calo yang harus diberantas hingga tuntas. Calo itu terus mengikutiku, hingga dia berhenti ketika ku katakan dua kata saja yaitu ” tos aya “. Beberapa calo yang berkeliaran melakukan hal yang sama seperti calo sebelumnya, dan terpaksa ku katakan lagi dua kata pengusir calo. Baju biru bertuliskan “ Persib “ terlihat sangat jelas dan berlalu lalang di sekitar Stadion Siliwangi. Antrean panjang sudah terlihat di entrance tribun selatan, yang dulu disebut sebagai tribun neraka karena di tribun selatan itulah banyak batu yang beterbangan ke lapangan, darah yang keluar, dan jiwa militan para anggota Viking. Para pedagang dengan asyiknya masih menjajakan barang dagangannnya, mulai dari kaos, syal, topi, stiker, dls. Para petugas keamanan pun masih terlihat santai di depan pintu masuk tribun VIP, yang masih tampak lengang. Namun sedikit jauh di depannya, yaitu di entrance tribun utara sudah terlihat antrean yang tidak kalah panjang dengan antrean di entrance tribun selatan. Ku terus berjalan menyusuri jalan yang tersedia, hingga terlihat tumpukan warna biru di sekitar tribun timur. Para bobotoh sudah memenuhi tempat masuk tribun timur, sehingga menimbulkan kerumunan yang menyesakkan dan terlihat beberapa bobotoh cilik yang berusaha menyusup di sela-sela kerumunan itu. Aku pun akhirnya memasuki kerumunan biru itu. Tempat masuk yang hanya dibuka dua gerbang, membuat diriku dan bobotoh lainnya berdesak-desak dan bersesak-sesak di antrean itu. Setelah berdesakan dan bersesakan, akhirnya aku berdiri tepat di hadapan petugas penyobek tiket, ku berikan tiket seharga Rp. 15.000 itu. Akhirnya, aku dapat masuk ke tribun timur dengan dan menghirup udara segar setelah sedikit sulit bernafas sebelum masuk tadi.
Ku mencari tempat duduk, menengok ke kanan dan ke kiri. Masih cukup banyak tempat beton yang belum bertuan. Ku duduk di tempat yang tak jauh dari papan skor agar pertandingan terlihat jelas tanpa terhalangi oleh pagar besi hijau yang mengurung bobotoh di tribun timur. Para petugas keamanan terlihat memasuki stadion dan bersiap di depan semua tribun dengan segala perlengkapan dan atributnya, biasanya hal itu menandakan bahwa para pemain dari Persib dan lawannya akan segera tiba di Stadion Siliwangi. Tak berapa lama, tampak bis berwarna biru dan bergambar maung yang membawa seluruh official dan pemain Persib, tiba di sela-sela tribun utara dan tribun samping utara dengan diiringi tepuk tangan seluruh bobotoh yang memenuhi Stadion SIliwangi. Seluruh penumpang bis maung itu, akhirnya turun dan bergegas memasuki ruang ganti. Di seberangnya, yakni di sela-sela tribun selatan dan tribun samping selatan, tiba bis yang mengangkut tim lawan dan menurunkan seluruh penumpangnya untuk segera masuk ke ruang ganti. Sekitar 15 menit kemudian, seluruh pemain Persib keluar, beserta pelatih kepala dan asisten pelatih dengan diiringi kembali oleh tepuk tangan dan sorak sorai bobotoh yang mebirukan Stadion Siliwangi, untuk latihan sebelum bertanding dengan lawannya. Selang beberapa menit seluruh pemain dan pelatih beserta asisten pelatih tim lawan pun keluar untuk berlatih sebelum bertanding dengan “ Sang Penguasa Stadion Siliwangi “ Persib Bandung. Setelah kedua tim selesai berlatih kedua tim pun bersegera masuk kembali ke ruang ganti masing-masing yang telah disiapkan oleh panitia pelaksana alias panpel. Bobotoh di tribun timur tiba-tiba bertepuk tangan, karena telah hadir 2 orang dedengkot Viking yang akan menjadi conductor atau yang lebih dikenal dengan sebutan dirigen, mereka berdua adalah Panglima Viking, Ayi Beutik dan Yana Bool. Mereka berdua kemudian naik ke tempat besi yang telah tersedia di atas pagar tribun timur yang hanya cukup untuk 2 orang saja.
Ketika pertandingan dimulai, tepuk tangan dan sorak sorai bobotoh seisi Stadion Siliwangi mengiringinya. Koor-koor yang dinyanyikan untuk mendukung Persib Maung Bandung membuat Stadion Siliwangi bergetar dan menggema. Di tengah pertandingan cacian terkadang terlontar atas ketidakpuasan bobotoh terhadap kepemimpinan wasit di lapangan, teriakan senang, tegang dan kecewa terlontar silih berganti. Hujan yang mengguyur Stadion Siliwangi tak menghalangi seluruh bobotoh untuk berjingkrak, mengibarkan syal dan menyanyikan koor-koor yang menambah semangat tempur seluruh pemain Persib di lapangan yang sedikit basah dan becek. Ketika waktu istirahat telah tiba, teriakan yang ada di tribun timur tak pernah berhenti. Namun, teriakan itu adalah panggilan kepada para pedagang dan ada juga beberapa bobotoh yang tidak memanggilnya, termasuk diriku karena tidak lagi memiliki uang dan karena telah membawa persediaan air minum dari rumah. Kacang, bacang, tahu, cai, rokok, kurupuk, buah, dls. silih berganti terngiang di tribun timur yang basah karena hujan itu. Tensi pertandingan kian memanas ketika memasuki babak kedua, perubahan strategi dan formasi pemain, kerap menimbulkan sesuatu yang tak terduga di lapangan dan berpengaruh terhadap skor akhir yang didapat. Dukungan dan teriakan terhadap Persib kian menggema dan menggetarkan Stadion Siliwangi. Tepuk tangan dan sorak sorai semakin menggema dan menggetarkan Stadion Siliwangi, karena Persib berhasil menerkam lawannya di stadion yang dengan penuh kenangan dan nilai historis itu.
Kini, Stadion Siliwangi terkapar lesu tanpa kehadiran Maung Bandung. Tidak ada tepuk tangan dan sorak sorai yang menggema dan menggetarkan seisi Stadion Siliwangi. Karena, stadion itu sudah tidak dapat lagi menampung animo bobotoh yang semakin hari semakin besar, sehingga terkendala izin dari pihak kepolisian. Stadion Siliwangi yang pernah menjadi tempat kesuksesan Persib Bandung menjadi tim terbaik di Indonesia dari era Perserikatan hingga Liga Indonesia, hanya tinggal kenangan.
Tak ada lagi bobotoh yang memenuhi Stadion Siliwangi, tak ada lagi bobotoh yang memenuhi mobil hijau bernomor 02, dan tak ada lagi perjuangan diri dan jiwaku dalam mendukung Maung Bandung. Stadion Siliwangi, kini hanya tinggal kenangan yang tak akan terlupakan. Baju “ perjuangan “ yang melapisi jiwa dan ragaku untuk mendukung Persib, kini tersimpan rapi di lemari dan hanya sesekali dipakai. Syal biru bertuliskan “ PERSIB “ yang ikut membirukan Stadion Siliwangi, kini masih tersimpan rapi tanpa pernah berputar dan terbentang lagi. Sepatu biru yang menemaniku setiap kali menginjakkan kaki di Stadion Siliwangi, kini masih menemaniku untuk bermain futsal. Semuanya kini tinggal kenangan, perjuanganku dalam mendukung Persib di Stadion Siliwangi adalah perjuangan yang tak akan terlupakan, meski kini Stadion Siliwangi hidup tanpa didampingi Persib Maung Bandung.

Peladjar Persib

This entry was posted on 9/02/2009 02:18:00 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: